Semua
Akan Cie-cie pada Waktunya
(Naskah
Asli : Instagram/Ummu Hafshah)
Dari
sekian banyak majelis yang pernah saya belajar di dalamnya, saya melihat
perempuan lebih rajin mencatat. Kebalikan dari laki-laki, malas mencatat. Tapi
tidak jarang saya dapatkan laki-laki malah lebih bagus jawabannya dibandingkan
perempuan, padahal tidak mencatat. Apa yang bisa dipelajari dari sini? Yang
bisa dipelajari adalah: bahwa laki-laki lebih menguasai hal-hal global daripada
perempuan. Bahwa perempuan lebih menguasai hala-hal rinci daripada laki-laki.
Makanya, pemetaan pikiran laki-laki biasanya lebih global, simpel, meluas dan
tepat dibandingkan perempuan yang kadang pemetaan pikirannya lebih fokus ke
furu’ mufashshalah (cabang-cabang rinci) yang bahkan kadang menurut laki-laki
ga penting sama sekali. Contoh : Laki-laki kalau mau safar, modaldengkul juga
jadi. Simpel, tapi perempuan? Jangan harap Cuma modal pakaian. Perempuan lebih
berfikir ke furu’, sampai minyak kayu putih. Bahkan sampai memikirkan jarum,
kayak mau nyantet orang aja.
Laki-laki
kalau mau ke kajian, atau ke mall, atau ke kantor tidak begitu memikirkan
kosmetik. Asal baju rapi dan matching, selesai.jangan tanya perempuan tentang
mereka saat mau pergi kesana. Laki-laki saat di kajian mendengarkan ustadznya,
sambil menata mind-mapping global. Rinciannya tidak penting-penting amat. Ego
dan rasa “keperkaasaan” mereka akan berkata “ah, gue juga bisa mikirin rincian
sendiri tanpa di-talqin”. Beda sama perempuan, mendengarkan ustadznya sambil
mencatat, sehalaman, dua halaman, sampai banyak. Setelah itu ya sudah. Kalau
diadu sama laki-laki, malah bisa kalah. Tapi kecenya, kalau laki-laki ternyata
yang kalah, mereka akan beralasan, “ya wajarlah, wong akhwat nyatet, saya
enggak.”. Ga wajar mas, antum cuman jiping (ngaji kuping), jihadnya di telinga
doang. Beda sama akhwat-akhwat itu, mereka jihadnya di kuping, tangan, dan
hati. Jihad di kuping ? ya dengerin. Jihad di tangan? Ya mencatat. Jihad di
hati? Ya menahan perasaan supaya gasuka sama ustadznya J.
Laki-laki
itu exist di pertama, dia bisa berfoya-foya dengan kemegahan. Tapi semegah-megahnya
bujang dan jomblo, kalau belum beristri, maka kemegahanya ghayru’ mu’tabar (ga
teranggap). Malah dunia akan tertawa kalau seorang bujang sudah mapan tapi
belum mau beristri, mencari ilmupun tidak. Ini abnormal. Perlu dipertanyakan
kelelakiannya. Coba tengok kisah nabi Adam As.
Nabi
Adam Alaihissalam, awalnya tinggalnya di Surga. Iya Surga! Apa sih yang gaenak
di Surga? Enak semua bro! Apa-apa azek. Tapi semegah-megahnya taraf hidup
beliau di Surga, tetap saja beliau suati kala merasa murung, merasa ada yang
kurang. Ada fitrah yang belum dilengkapi. Ada relung jiwa yang belum diisi.
Perempuan. Ah, itu dia. Hidup laki-laki sehebat apapun tetap saja dependent
pada makhluk halus bernama ‘perempuan’. Maka, Allah berikan pasangan buat nabi
Adam. Seneng...... karena memang sudah lazimnya. Ujian mesti ada, susah senang
tetap saja ada ujiannya. Nabi Adam meminta perempuan, namun kemudian
denganyalah beliau terjatuh. Ke Bumi, ke Dasar, cobaannya ada.
Makanya,
jangan mengira after-marriage itu ketemuanya surga doang. Salah besar, ujiannya
banyak, kegalaunnya malah lebih banyak, lebih rutin dan lebih tinggi
intensitasnya dibandingkan kegalauan bujang. Tapi, tentu penyembuhnya lebih
available dibandingkan baut bujang. Semua itu kalau di-manage sesuai syariah,
bakal berpahala besar. Dari semua kegalauan, baik sektor ekonomi,sosial, dan
psikologi, ternyata laki-laki sangat matching untuk menghadapinya bersama
perempuan. Tidak bisa satu doang, harus berdua, kenapa? Karena laki-laki lebih
menguasai ushul, sedangklan perempuan lebih menguasai furu’. Dari sektor
ekonomi, laki-laki lebih mampu mencari uang banyak, karena memang seharusnya
mencari nafkah. Pas awal bulan (bagi orang kantoran) seluruh atau sebagian uang
di-manage istri. Ada nafkah khusus istri, ada juga dana umum. Istri, yang lebih
suka masalah furu’, bakal lebih mampu menghandle beginian. Kalau laki-laki yang
handle beginian, really istri bisa terdzalimi. Rumah tangga bisa rapuh.
Sudahlah, biar istri yang menangani ini. Nanti pas belanja bulanan, di market
istri cari semua barang di rak, suami Cuma satu : bangku. Hehe
Dari
sektor sosial,lali-laki tidak begitu suka kepoin orang secara mendetail. Beda
bingits sama perempuan. Makanya, tensi ghibah perempuan lebih besar daripada
laki-laki. Makanya juga, anak-anak ngaji yang lebih suka ngomongin fulan dan
fulan, itu lebih layak digelari ‘banci mengaji’ dibandingkan anak ngaji. Mirip
perempuan, makanya gan jangan mengetahui personal seseorang secara detail,
karena pengetahuan tersebut bakal mendorong untuk gibah. Kecuali, personal
Rasulullah, itu lain lagi. Baiklah.
Kemudian,
istri lebih bisa dijadikan senjata untuk urusan-urusan sosial. Arisan, rukun
tetangga, musyawarah di gerobak sayur sambil acak-acak barang dagangan,
kajian-kajian kampung dan pesta pernikahan. Itu semua girly (baca :emak-emak)
banget. Tentu saja aneh jika arisan ahnya dikuasai oleh laki-laki, lalu para
bapak-bapak bergosip di gerobak sayur. Ga pantes. Makanya, kalau siarkan nikah
di kampungmu. Tidak usah repot-repot buat kertas udangan. Irit aja, itu buat
orang jauh saja. Untuk sekelurahan, cukup bicara sama emak-emak atau
nenek-nenek “saya mau nikah, sama blabla, tanggal....., di.... kok bisa?”
Dari
sektor psikologi :laki-laki dengan keperkasaanya akan rapuh tanpa perempuan,
dan bisa mudah mudah rapuh karena perempuan. Perempuan dengan kelembutanya bisa
menjadi pejuang gigih karena laki-laki. Berjuang sabar, tekun, baik-baik
dan..... Semua akan cie-cie pada waktunya, siapapun dari siapapun punya
harapan, tentang siapa, namun siap-siaplah. Jangan sampai hanya berharap saja
tanpa bekal dan perjuangan. Semakin besar perjuanganmu dan kesabaranmu,
menunjukkan semakin kamu menghargai harapanmu sendiri dan menghargai dia yang
kamu harapkan. Barangsiapa yang menghargai, ia akan dihargai. Tetaplah kamu
laki-laki menjadi pemimpin. Tetaplah kamu perempuan menjadi sandaran pemimpin.
Saat kamu datang ke kondangan “fulan vs fulanah”, mereka akan bertanya “kapan
kamu nyusul”. Sakitnya tuh di sana sini. Pas ngobrol asik-asik sama temen-temen
mulai ada yang membahas topik begitu, “kamu kapan?’ sakitnya tuh di perasaan.
Lihat pasangan gandengan enak banget. Lalu karena ga ada yang bertanya, malah
diri sendiri yang bertanya ‘saya kapan?’ sakitnya udah ga pake perasaan. Kalau
mengingat pertanyaan ‘kamu kapan?’ ‘kamu kapan?’ ‘kamu kapan?’ rasanya
sendi-sendi begitu sakit. Memang, sendi-sendi biasanya sakit karena sendirian.
Tapi percayalah, kamu gaperlu kirim biodata, cukup perbaiki diri, kirim
proposal kepada Allah setiap selesai shalat dan setiap 1/3 malam terakhir, jaga
diri, pantaskan diri, tawakal, maka “semua akan cie-cie pada waktunya”
Disampaikan
oleh Ustadz Hasan Al-Jaizy, LC